Budaya Leka, Masih Hidup Di Desa Tangga

Rabu, 11 Juli 20122komentar


KM-Tantonga Saat ini kita hanya mengenal kata resepsi pernikahan atau perayaan sekaligus meminta doa restu dari sebanyak-banyaknya masyarakat dan sanak keluarga. Namun sebenarnya hal yang sangat mendasar yang dilakukan para masyarakat Bima terdahulu adalah dengan cara Leka yang hanya saja pada pelaksanaan sedikit unik yakni dengan diarak keliling kampung.
Leka adalah salah satu bentuk upacara sosialisasi atau dalam bentuk pawai atau arak-arakan diiringi penabuh gendang rebana yang mana pada saat itu sang pengantin perempuan diusung bak seorang ratu diatas kereta kencana. Samping kiri kanannya beberapa orang pengusung petromak bak prajurit pengawal yang mengantarkan sang pengantin di pelaminan yang disediakan.
Setelah kedua mempelai diarak keliling kampung mereka disandingkan di depan kediaman salah satu pasangan baik itu di kediaman orang tua laki-laki ataupun perempuan yang pada saatnya seluruh warga satu persatu menyalami pasangan pengantin tersebut untuk mengucapkan selamat sekaligus memberikan kado atau uang tunai.
Dalam sejarahnya budaya ini selalu dilakukan oleh warga Bima pada setiap upacara pernikahan layaknya sebuah pesta resepsi namun seiring perkembangan zaman budaya ini nyaris hilang terbukti sejak tahun 80an budaya ini telah ditinggalkan oleh masyarakat Bima.
Satu-satunya desa yang masih melestarikan budaya ini adalah desa Tangga kecamatan Monta kendati yang memilih cara ini hanya keluarga yang berekonomi lemah sebab disamping cara ini praktis juga hemat biaya. 
M. Nor Jafar 56 tahun salah satu warga yang hadir di upacara leka pernikahan Anwar dengan hafsah 10 juli kemarin di RT 06 desa Tangga ketika dimintai tanggapannya terhadap kegiatan yang mengandung nilai budaya ini mengatakan bahwa patut dilestarikan “sebab disamping hal ini berguna untuk tetap melestarikan budaya turun temurun seperti yang dialami oleh generasi kami dulu juga budaya Leka ini tidak memberatkan pasangan pengantin,” ungkapnya.
Dikatakannya bahwa jika cara ini dapat dipilih oleh mayoritas penduduk maka pengantin akan dapat memanfaatkan dana yang ada untuk modal membangun rumah tangga. “Bayangkan saja jika untuk menggelar upacara resepsi seperti yang kebanyakan dilakukan sekarang harus mengucurkan biaya baik dari mencetak undangan, menjamu undangan hingga menyewa grup orkes sekaligus biaya gedung atau tenda tidak cukup dengan anggaran 15 juta rupiah. Nah jika dana itu dipergunakan untuk modal maka kita telah menyelamatkan calon pasangan ini dari kemiskinan,” ujarnya. [Leo]
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

11 Juli 2012 pukul 18.36

semoga tidak hilang ditelan jaman
http://mbojonet.blogspot.com/

Anonim
21 Maret 2017 pukul 18.25

Mantap,, kabou mantoi re.

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Tantonga Parewa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger